BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai salah satu
kajian terhadap teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh dan tauhid, hadits
nampaknya terlahir sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama
Islam. Bahkan dalam tataran wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai
salah satu sumber hukum Islam yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an.
Realitas tersebut jelas menempatkan hadis sebagai sesesuatu yang inheren bagi
eksistensi al-Qur’an. Oleh karena itu dari masa-kemasa para sahabat nabi,
tabi’in, dan tabi’in-tabi’in mencurahkan segenap tenaganya untuk melestarikan
dan menyebarkan kepada generasi selanjutnya. Mengingat pentingnya hadis dalam
dunia Islam, maka kajian-kajian atas hadis semakin meningkat, sehingga upaya
terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat
yang dilakukan secara selektif demi menjaga keotentikan hadis itu sendiri. Oleh
karena itu dalam pembahasan ini penulis akan menyajikan pembahasan singkat
tentang perkembangan hadis sebelum era kodifikasi dan sesudahnya, dilanjutkan
dengan pembahasan tentang pusat-pusat studi hadis dan para tokoh-tokohnya
secara rinci. Adapun metode yang akan dipakai dalam kajian ini adalalah
termasuk kategori penelitian literer atau study pustaka dengan objek berupa
naskah-naskah utama (primer), meski tidak menutup kemungkinan adanya referensi
lain sebagai bahan rujuakan sebagai sumber kedua (skunder) yang erat kaitannya
dengan persoalan yang akan dibahas. Tujuan tulisan ini adalah untuk
memahami cara rasul, sahabat, tabi’in, dan tabi’in tabi’in dalam memelihara
hadis dengan sangat berhati-hati dan bijaksana sehingga dapat diturunkan kepada
generasi selanjutnya sebagai pusaka dari rasul untuk umatnya dalam mengarungi
kehidupan.
1.2 Rumusan masalah
1.
Apa pengertian
kodifikasi hadist itu?
2.
Bagaimana sejarah
perkembangan kodifikasi hadist itu?
3.
Bagaimana
pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadist?
4.
Apa sajakah factor pendorong terjadinya kodifikasi hadis?
1.3
Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui
pengertian kodifikasi hadist.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan kodifikasi hadist
3. Mengetahui bagaimana pengembangan dan penyempurnaan sistem
penyusunan kitab – kitab hadist.
4. Untuk mengetahui factor pendorong terjadinya kodifikasiki hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian kodifikasi hadist
Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadist
atau tawin hadist adalah penghimpunan, penulisan, hadist nabi atas perintah resmi dari penguasa
Negara(kholifah) bukan dilakukan atas inisiatif
perorangan atau untuk keperluan
pribadi. Kodifikasi dimaksudkan untuk menjaga hadist nabi dari kepunahan dan
kehilangan baik dikarenakan banyaknya periwayat
penghafal hadist yang meninggal maupun karena adanya hadis – hadis palsu
yang dapat mengacaubalaukan keberadaan hadis – hadis nabi.
kodifikasi yang dimaksud disini adalah
penulisan , penghimpunan , dan pembukuan , hadist-hadist nabi yang dilakukan
berdasaran perintah resmi kholifah umar ibn ‘Abdul azaz (99- 101H / 717- 720M),
kholifah kedelapan bani umayyah, yang kemudian
kebijakannya itu ditindaklanjuti oleh para ulama’ di berbagai
daerah hingga pada masa – masa berikutnya
hadis – hadist terbukukan kitab – kitab hadis.
2.2 SEJARAH PERKEMBANGAN
KODIFIKASI HADIST
Ide
penghimpunan hadith nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan
oleh Khalifah Umar bin al Khattab (w.23 H=633 M). Ide tersebut tidak
dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu
perhatiannya dalam mempelajari al Qur’an. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun
hadith nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan sholat Istikharah
selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar
daerah Islam telah semakin luas dan hal itu membawa akibat jumlah orang yang
baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.[1]
Memasuki
periode tabi’in, sebenarnya kekhawatiran membukukan/ kodifikasi hadith
tidak perlu terjadi, justru pada periode ini telah bertabur hadith- hadith
palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan-
golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan,
seperti Khawarij, Syi’ah, murji’ah, dan lain- lain. Perpecahan ini terjadi
sesaat setelah peristiwa tahkim yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal
dari terbunuhnya khalifah Umar bin Affan ra. Untuk mengukuhkan eksistensi
masing- masing golongan mereka merasa perlu mencipta hadith palsu.[2]
Kemudian
semua karya tentang hadith dikumpulkan pada paruh akhir abad ke- 2H/ 8M
atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar
awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun (ahli hadith) telah
mulai menulis hadith, meskipun tidak dalam himpunan yang runtut.
Belakangan koleksi kecil ini menjadi sumber bagi karya-karya yang lebih besar.
Meskipun begitu kebanyakan hadith yang ada dalam himpunan- himpunan
besar disampaikan melalui tradisi lisan. Sebelum dicatat dalam himpunan-
himpunan tersebut belum pernah dicatat di tempat manapun.[3]
Ada
beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan
serentak dimulai yaitu:
(1) Kelompok Syi’ah,
mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa
Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35
H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya..
(2)
Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz
bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy
untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan
bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan
kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
(3)
Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘
Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan
ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada
Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis
Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu
dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm,
beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan
hadith yang ada pada ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena
aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”
Pendapat ketiga ini
yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya
lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur
dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang
nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan
serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian,
penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis
pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal
pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi
inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah
mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
Adapun siapa
kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H),
karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu
kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah,
sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami
menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau
mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya.
Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith.
Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan
hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya
hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.
Meski demikian, ada
juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi
kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah dilakukan, yakni oleh
Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti
itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang
diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini
ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual,
dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat.
Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita,
yakni al-Sahifah al-Sahihah.
Diantara
buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
1)
Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik
2)
Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
3)
As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur
4)
Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan
5) Musnad Asy-Syafi’i. [4]
Teknik pembukuan hadith- hadith pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
Teknik pembukuan hadith- hadith pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
a. Al-Mushannaf
dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi
hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’.
b. Al-Muwatththa’
dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’
diartikan sama dengan Mushannaf.
c. Musnad
dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalah pembukuan hadith yang
didasarkan pada nama para
sahabat yang meriwayatkan hadith tersebut.
Tulisan-tulisan hadith
pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai
bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan pada masa
pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa
sekarang.
2.3 Masa pengembangan dan penyempurnaan sistem kodifikasi hadist
1.. Masa pengembangan kodifikasi
hadist
Pada permulaan abad ketiga para ahli hadis hadist mengembangkan sistematika pembukuan hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, usaha ini kemudian memunculkan ide-ide untuk memilah-milah hadis dan memisahkannya dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka membukukan semata-mata dari hadis rasulullah. Masa penyaringan hadis ini terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khu-susnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin (kodifikasi) para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqtu’ dari hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang shahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis shahih. Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab sahih karya mereka. Dengan ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini akhirnya bermunculan berbagai kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti munculnya kutub as-sittah yang hanya memuat hadis-hadis nabi yang sahih yaitu:
a. Al-Jamias-sahih sebuah karya imam Bukhari (194-252 H)
b. Al- Jami as-sahih sebuah karya imam Muslim (204-261 H)
c. As-sunan kitab karya Abu Daud (202-275 H)
d. As-sunan kitab karya Tirmidzi (200-279 H)
e. As-sunan kitab karya Nasa’i (215-302 H)
Pada permulaan abad ketiga para ahli hadis hadist mengembangkan sistematika pembukuan hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, usaha ini kemudian memunculkan ide-ide untuk memilah-milah hadis dan memisahkannya dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka membukukan semata-mata dari hadis rasulullah. Masa penyaringan hadis ini terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khu-susnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin (kodifikasi) para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqtu’ dari hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang shahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis shahih. Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab sahih karya mereka. Dengan ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini akhirnya bermunculan berbagai kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti munculnya kutub as-sittah yang hanya memuat hadis-hadis nabi yang sahih yaitu:
a. Al-Jamias-sahih sebuah karya imam Bukhari (194-252 H)
b. Al- Jami as-sahih sebuah karya imam Muslim (204-261 H)
c. As-sunan kitab karya Abu Daud (202-275 H)
d. As-sunan kitab karya Tirmidzi (200-279 H)
e. As-sunan kitab karya Nasa’i (215-302 H)
2. Masa
Penyempurnaan Sistem kodifikasi Hadis
Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari tahun ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan usaha keras dari para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi melestarikan hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik dalam membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang lebih sistematis. Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih menyempurnakan susunan pembukuan hadis dengan cara mengklasifikasikannya dan menghimpun hadis-hadis dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu mereka memberikan pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem pembukuan hadis dengan beberapa fariasi kodifikasi terhadap kita-kitab yang sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis diantaranya:
Pertama, kitab-kitab hadis tentang hukum. Meliputi:
a. Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384-458 H.)
b. Muntaqal Akhbar, sebuah karya Majdudin al-Harrany (652 H).
c. Nailul Authar, sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya Muhammad bin Ali as-Syaukani (1172-1250 H).
Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari tahun ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan usaha keras dari para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi melestarikan hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik dalam membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang lebih sistematis. Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih menyempurnakan susunan pembukuan hadis dengan cara mengklasifikasikannya dan menghimpun hadis-hadis dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu mereka memberikan pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem pembukuan hadis dengan beberapa fariasi kodifikasi terhadap kita-kitab yang sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis diantaranya:
Pertama, kitab-kitab hadis tentang hukum. Meliputi:
a. Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384-458 H.)
b. Muntaqal Akhbar, sebuah karya Majdudin al-Harrany (652 H).
c. Nailul Authar, sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya Muhammad bin Ali as-Syaukani (1172-1250 H).
2.4 Faktor
– faktor pendorong kodifikasi hadist
Ada tiga hal pokok yang melatar
belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadith:
1. Beliau khawatir hilangnya hadith-
hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama
sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para
ulama lainnya.
2. . Beliau khawatir akan tercampurnya
antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadith palsu.
3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan
Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas
sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.[5]
Dengan demikian faktor
terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk
menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasa-pembahasan di atas dapat di
simpulkan bahwa:
1. Adanya
larangan dan perintah menulis hadis oleh nabi pada priode awal yang terkesan
sangat rancu dan bertolak belakang, bukanlah
merupakan nash-nash yang saling bertentangan. Sebenarnya larangan menulis hadis
pada priode nabi bersifat umum, karena sabdanya memang ditujukan kepada para
sahabat pada umumnya. Namun diantara mereka ada yang terpercaya, ada yang baik
hafalannya, dan ada yang bagus tulisannya sehingga dalam waktu yang bersamaan,
rasulullah memberi izin khusus kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena
pertimbangan akan situasi, kondisi dan sifat pribadi sahabat.
2. Kegigihan para sahabat, tabi’in,
dan tabi’in-tabi’in dalam menjaga, melestarikan, dan menyebarkan dua wasiat
yang diwariskan oleh nabi yang berupa al-qur’an dan hadis sehingga sampai kepada
generasi sesudahnya.
3. Dalam setiap perubahan
dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai titik yang lebih sempurna.
4. Tugas kita
sebagai generasi penerus adalah menjaga dan melestarikan kedua pusaka itu dan
mengajarkannya kepada generasi-sesuadah kita.
3.2 Saran
Kepada para
mahasiswa khusunya jurusan Ekonomi Syari’ah yang menbaca dengan adanya makalah
ini bisa mengetahui perkembangan hadist
pada masa kodifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Azami. Muhammad
Mustafa, Hadis Nabawi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974.
Hilwah. Mahmud Abdul Kholik, Manahijun Nubala’ fi al-Riwayah wa al-Tahdis, Kairo: Dar al-Kutub, 2002.
Juynboll, G.H.A., Muslim Tradition, London: Canbridge University, 1983.
Khatib. Muhammad ‘Ujjaj Al-, As sunnah Qabla Tadwin, Kairo: Percetakan Wahbah, 1963
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974.
Hilwah. Mahmud Abdul Kholik, Manahijun Nubala’ fi al-Riwayah wa al-Tahdis, Kairo: Dar al-Kutub, 2002.
Juynboll, G.H.A., Muslim Tradition, London: Canbridge University, 1983.
Khatib. Muhammad ‘Ujjaj Al-, As sunnah Qabla Tadwin, Kairo: Percetakan Wahbah, 1963
Mudasir. H., ilmu
Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Darussalam, 1998.
Salih. Subhi as-, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
Zuhri. MUH., Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Darussalam, 1998.
Salih. Subhi as-, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
Zuhri. MUH., Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar